Berdasarkan Undang-UndangRepublik Indonesia No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, definisi kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.Menurut Simon (1998), perkembangan teori pengelolaan hutan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kategori kehutanan konvensional dan kategori kehutanan modern (kehutanan sosial).
Yang termasuk ke dalam kehutanan konvensional adalah penambangan kayu atau timber extraction (TE) dan perkebunan kayu atau timber management (TM).Kehutanan Modern/Kehutanan sosial adalah pengelolaan hutan sebagai sumberdaya atau forest resource management (FRM) dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem atau forest ecosystem management (FEM). Keduanya disebut juga dengan istilah lain Sustainable Forestry Management (SFM).
Kehutanan merupakan aspek ekologis yang berada di atas permukaan bumi, kehutanan dari segi pembentukannya terdiri dari 2 (dua) cara, yaitu terbentuk alamiah dan buatan. Perkembangan tehnologi telah menciptakan teori yang dapat mengembalikan fungsi hutan alam.
Bumi dengan segala macam di dalam dan di permukaan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh manusia sebagai penghuninya. Pengelolaan hutan sebaiknya diselaraskan dengan pengelolaan sumber daya alam yang lainnya, sehingga pemanfaatan sumber daya dapat terjalin dengan baik dan menguntungkan.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa isu pengelolaan lingkungan telah menjadi satu rumusan tujuan Pembangunan Millenium (millenium development goals/MDGs). Indonesia sebagai pemilik luas hutan tropis terbesar ke-tiga di dunia mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mencapai tujuan pembangunan millenium ini.
Sektor kehutanan masuk dalam tujuan pembangunan millenium ketujuh, yaitu “memastikan kelestarian lingkungan”, dimana target ke-9 berbunyi “memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang”. Pada target tersebut terdapat indikator yangg terkait langsung dengan sektor kehutanan, meliputi : (1) Rasio luas kawasan tertutup pepohonan terhadap luas daratan, dan (2) Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan luas kawasan hutan, kawasan lindung dan kawasan konservasi dan hutan rakyat terhadap luas daratan.
Catatan kritis pembangunan kehutanan berbasis masyarakat
- Pertama, dari sisi kelembagaan ekonomi masyarakat belum terbentuk.
- Kedua, dari sisi sosial-politik, dalam kebijakan pembangunan masyarakat belum memiliki posisi sebagai subyek secara utuh.
- Ketiga, keinginan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar hutan, maupun peningkatan pendapatan negara, jelas meminimalkan semangat ekologis.
Program ini harus tetap memperhatikan ketahanan dan kelestarian dari ekosistem hutan.
Provinsi Riau dengan luas wilayah daratan dan perairan seluas ± 107.923,71 km² terdiri atas 10 Kabupaten dan 2 Kota dengan jumlah penduduk sebanyak 5.543.031 jiwa dan laju pertumbuhan penduduk 4,46 %. Dengan luas daratan + 85.987.570 km2 (8.598.757 Ha) yang sebahagian besar adalah hutan, maka sektor kehutanan merupakan salah satu sektor andalan pembangunan Provinsi Riau, dimana sektor ini telah menjadi salah satu motor penggerak pembangunan selama lebih dari 3 (tiga) dekade berupa penghasil devisa, suplai industri terkait, serta sebagai pembangkit sektor lain. Lebih dari 70% sektor lain tergantung kepada manfaat, fungsi dan keberadaan hutan.
Namun di sisi lain, kebijakan pembangunan pada masa lalu telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan terjadinya degradasi/ deforestasi yang antara lain disebabkan oleh : Pengelolaan hutan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan, illegal logging, perambahan, occupasi lahan dan kebakaran hutan. Pada Tahun 1982 sesuai kesepakatan dalam TGHK, Kawasan Hutan di Provinsi Riau dialokasikan seluas 6,4 Juta Ha, tapi saat ini hutan alam yang tersisa hanya 1,2 Juta Ha.
Pembangunan Kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak mungkin tercapai, apabila paradigma lama masih dijadikan acuan. Oleh karena itu diperlukan perubahan paradigma secara mendasar. Paradigma baru pembangunan kehutanan adalah : pergeseran orientasi dari pengelolaan kayu (timber Management) menjadi pengelolaan sumber daya (resources-based management), pengelolaan yang sentralistik menjadi desentralistik serta pengelolaan sumber daya yang berkeadilan.